Tampaknya pada pemilu presiden 2014 ini banyak sekali terjadi kampanye hitam dan kampanye negatif. Hal tersebut dapat tercermin dari gambar di atas. Sebelum saya melanjutkan, perlu ditegaskan lebih dahulu di sini bahwa saya memihak kepada pasangan nomor urut 1, jadi saya akan hanya membahas mengenai kampanye hitam yang menyerang pasangan nomor urut 1 dan meluruskan apa yang sebenarnya terjadi. Banyak sekali cara melakukan kampanye hitam, salah satunya adalah dengan menyebarkan informasi yang tidak didasari dengan kenyataan. Dengan kata lain, informasi tersebut telah pelintir. Hal ini juga yang terjadi pasca debat Cawapres yang dilaksanakan pada tanggal 29 Juni 2014 kemarin.
Di beberapa situs dan jejaring sosial, telah beredar foto yang menyamakan gaya bicara Hatta Rajasa dengan Vicky Prasetyo yang sempat terkenal karena gaya bicaranya yang terkesan 'intelek' namun diksinya tidak pas. Kita tentu tahu perbedaan H.H. Hatta Rajasa dengan Vicky Prasetyo, bila Pak Hatta, memang gaya bicaranya terkadang menyelipkan istilah asing, terutama untuk istilah yang konseptual, dan diksi yang digunakan oleh Pak Hatta tentu sesuai dengan makna kalimat yang dimaksud. Sedangkan Vicky, dia menggunakan kata yang maknanya sebenarnya tidak sesuai dengan kalimat yang ia maksud, dengan kata lain diksinya tidak pas.
Selain menyamakan Hatta Rajasa dengan Vicky Prasetyo, foto tersebut juga mengandung unsur fitnah. Ada kata-kata dari Hatta Rajasa yang dipelintir, sehingga seolah-olah gaya bahasanya mirip dengan Vicky Prasetyo. Unsur fitnah dan menyebarkan informasi yang tidak benar ini merupakan indikasi dari kampanye negatif. Dalam foto tersebut dituliskan bahwa Hatta Rajasa Mengatakan "Inovasi adalah invention yang terdifusi hasil dari UU". Kalimat tersebut nyata-nyata telah dipelintir atau diplesetkan dari kalimat aslinya. Padahal kalimat asli yang diucapkan oleh Hatta Rajasa adalah "Pak JK, memang saya bangga karena itu inovasi,
karena inovasi adalah invention (terj: hasil temuan/ciptaan), temuan,
hasil riset yang terdifusi di dalam sektor, dan itu menghasilkan bibit unggul
yang sekarang masuk ke dalam market,
itulah inovasi." Jadi, makna kalimat yang ada dalam foto tersebut dengan fakta yang ada sangat berbeda.
Hal seperti itu memang kelihatannya sepele, tetapi sesungguhnya merupakan bagian dari upaya pencemaran nama baik yang akan berdampak pada pemilu ini. Masyarakat kebanyakan memang percaya dengan apa yang tersebar di media sosial, dan menganggap hal tersebut seolah-olah benar. Banyak orang yang tidak memverifikasi kebenaran dari informasi yang ia dapat. Bila hal itu yang terjadi, maka informasi yang beredar di masyarakat merupakan informasi yang tidak benar, yang diedarkan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab, dan itu sangat berbahaya bagi kehidupan demokrasi di Indonesia.
Untuk keperluan agar masyarakat bisa memverifikasi kebenaran dari informasi-informasi tersebut, maka saya menyempatkan diri untuk menuliskan transkrip dari acara yang telah berlangsung akhir pekan lalu. Agar masyarakat lebih mudah untuk memahaminya, maka saya sertakan terjemahan di beberapa kata asing dan di beberapa konsep ilmiah yang dipakai. Berikut ini transkrip debat cawapres 2014, 29 Juni 2014.
DEBAT CAWAPRES 2014
29 JUNI 2014: JK VS HATTA
Sesi 1: Visi &
Misi
Hatta:
Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan pada kita bahwa kita mencerdaskan kehidupan
bangsa. Artinya, sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusia dan
penguasaan ilmu pengetahuan & teknologi. Sedangkan kualitas sumber daya
manusia sangat ditentukan oleh dua faktor utama: pendidikan dan kesehatan.
Sejarah umat manusia mencatat, jatuh bangunnya peradaban manusia sangat
ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia dan penguasaan ilmu pengetahuan
& teknologi pada zamannya. Prabowo dan Hatta berkeyakinan, Indonesia dapat
menjadi negara yang sejahtera, maju, dan berperadaban, apabila sungguh kita
meletakkan sumberdaya manusia dan penguasaan ilmu pengetahuan & teknologi
sebagai pilar utama membangun peradaban bangsa. Kata kunci dan tantangan yang
kita hadapi adalah sejauh mana kita dapat menjamin seluruh warga bangsa kita
untuk dapat menikmati pendidikan yang inklusif, berkeadilan, berkualitas,
sedini mungkin, setinggi mungkin, menjangkau seluas mungkin. Di sinilah
tantangan yang harus kita jawab. Prabowo dan Hatta Rajasa menjawab itu dengan
memperbaiki kualitas pendidikan, memperluas akses, dan mempermudah jangkauan,
dengan mewajibkan kita untuk berpendidikan dua belas tahun karena itu hak yang
mendasar bagi warga negara kita. Di bidang IPTEK, tentu saja pemerintah wajib
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memajukan peradaban dan
memakmurkan umat manusia. Kata kunci di dalam IPTEK ada tiga: bagaimana IPTEK
kita dapat membangun daya saing bangsa; yang kedua bagaimana IPTEK kita dapat
menjawab/merespons keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam kita baik
nir-hayati maupun hayati; dan yang ketiga adalah bagaimana IPTEK kita mampu
menyiapkan masyarakat Indonesia yang kritis, yang inovatif, untuk menjawab
tantangan globalisasi yang semakin ketat. Di bidang kesehatan kita akan
melanjutkan perbaikan gizi masyarakat, memperluas akses pelayanan BPJS, baik
cakupan maupun mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Apabila kita
melihat, kita pun penting meningkatkan productivity
dari tenaga kerja kita yang 46 persen masih berpendidikan SD. Oleh sebab itu
penting bagi kita untuk meningkatkan productivity
dengan membuka balai-balai latihan, meningkatkan pusat-pusat keunggulan,
pusat-pusat inovasi agar seluruh komponen masyarakat kita mendapatkan
pendidikan, mendapatkan kesehatan, dan mendapatkan ilmu pengetahuan untuk
membangun peradaban bangsanya.
Sesi 2: Pendalaman
Visi & Misi
Moderator:
Mohon Bapak untuk lebih mempertajam lagi bagaimana bapak dapat mewujudkan
pendidikan inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan, sedini dan sejauh mungkin,
mengingat kondisi anggaran kita saat ini yang terbatas. Serta bagaimana pula
Bapak dapat meningkatkan produktivitas, menumbuhkan pusat-pusat inovasi dengan
kondisi tidak hanya keterbatasan anggaran, tetapi juga keterbatasan kualitas
sumber daya manusia.
Hatta:
Pendidikan berkeadilan, inklusif, dan berkualitas adalah kewajiban konstitusi,
negara wajib melaksanakan itu. Ini adalah amanat konstitusi kita pasal 31 ayat
1, ayat 2, dan ayat 5 tentang IPTEK. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan bagi
kita melaksanakan itu dan anggaran tentu saja dapat kita siapkan untuk sumber
daya manusia yang merupakan pilar utama membangun bangsa ini. Untuk membangun
pusat-pusat inovasi, penting bagi kita karena itu merupakan bagian daripada
peningkatan daya saing bangsa kita. Tidak mungkin kita tidak membangun “the centre of excellent” –pusat-pusat
keunggulan— kalau kita sungguh ingin meningkatkan daya saing bangsa kita. Oleh
sebab itu maka, yang pertama Prabowo-Hatta mempersiapkan untuk (pendidikan) inklusif
dan berkeadilan tersebut: pertama, anggaran kita naikkan, terutama untuk
perguruan tinggi kaitannya dengan IPTEK, meningkatkan bantuan operasi dua kali
lipat ke depan, menyalurkan 10 triliun dalam waktu 5 tahun ke depan untuk
dana-dana riset yang fokus kepada prioritas-prioritas, mempercepat difusi (penyebaran)
dari temuan-temuan dari knowledge
kita agar dapat diterapkan dalam sektor-sektor yang betul-betul penting, yaitu:
pangan, energi, transportasi, kesehatan, dan sebagainya. Oleh sebab itu, kita
harus mengembangkan pendanaan tersebut untuk tiga hal utama. Pertama, harus
kualitas, keterjangkauan, dan ketersediaan; yang kedua, guru harus kita tambah
dalam waktu lima tahun ke depan sedikitnya 800 ribu; dan meningkatkan kualitas
serta meningkatkan kesejahteraan para guru. Dengan demikian, maka IPTEK dan
peningkatan pendidikan akan seiring untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia yang berkualitas yang dapat menghadapi tantangan-tantangan zaman.
Sesi 3: Pertanyaan
dari Moderator
Moderator:
Menyadari adanya kesenjangan yang lebar dalam kualitas sumber daya manusia dan
penyebarannya di berbagai daerah di Indonesia, serta daya saing SDM kita yang
relatif masih rendah di pasar global, maka bagaimanakah kebijakan Bapak untuk
mengatasi hal tersebut, sementara itu di sisi lain sebagian dari SDM kita yang
unggul memilih untuk berkarya di luar negeri. Bagaimanakah upaya yang akan
Bapak lakukan untuk mencegah hal tersebut?
Hatta:
Dari 125 juta angkatan kerja kita, memang 46 persen masih tamatan SD. Oleh
sebab itu, struktur tenaga kerja seperti ini tidak ideal, mengapa? Karena hanya
8 persen lulusan perguruan tinggi yang masuk ke pasar kerja. Tidak bisa tidak,
kita harus meningkatkan APK perguruan tinggi sampai 2019 setidaknya 40 persen,
sehingga aliran masuk adalah mereka yang skilled
(terj: terampil/terlatih) dan memiliki knowledge. Persoalannya adalah bagaimana yang 46 persen yang sudah
ada di pasar agar mereka productivity-nya
meningkat? Jangka pendek, tidak ada yang lain kecuali kita meningkatkan balai-balai
latihan dengan meminta kepada seluruh daerah-daerah otonomi untuk
merevitalisasi dengan bantuan pemerintah pusat, merevitalisasi balai-balai
latihan agar kesenjangan mereka dapat kita atasi dengan meningkatkan skill, karena ini sangat penting. Jangka
panjang tidak ada yang lain adalah pendidikan, pendidikan ini menjadi kata
kunci untuk menghilangkan/mengurangi kesenjangan. Yang kedua yang paling
penting adalah menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan baru. Tidak boleh
pertumbuhan hanya terjadi di pulau Jawa, oleh sebab itu kami mengembangkan,
ketika saya Menko Perekonomian, master
plan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia dengan
mengembangkan sumber-sumber pertumbuhan baru berbasiskan pada kekayaan lokal.
Dengan demikian maka, dibarengi dengan pusat-pusat keunggulan – the center of excellent – maka
putera-putera daerah di tempat tersebut akan masuk ke dalam pusat pertumbuhan
tersebut, bekerja sambil mereka juga menikmati pendidikan kejuruan yang
disesuaikan dengan keunggulan daerah masing-masing. Terhadap adanya tenaga
kerja kita yang di luar, ada dua pendekatan, yang pertama kita bisa melihat
dari satu sisi yaitu strategi pembangunan kita yang membuat mereka tidak mempunyai
kesempatan di sini. Contoh yang paling konkrit, apabila kita mengedepankan
menjual bahan mentah saja, maka engineer (terj:
insinyur) dan skilled tidak akan
bisa bekerja. Dengan mengembangkan “value
added industry” (terj: industri
nulai tambah) maka mereka akan tertarik pulang ke Indonesia, strategi ini harus
kita jalankan. Yang kedua adalah bisa saja kita dalam waktu yang sementara ini
adalah pendekatan India, mereka mengembangkan karirnya di luar, akan tetapi
membuka market – membuka pasar –
mengakseskan ke Indonesia dan pada saat yang tepat mereka akan pulang karena
pembangunan ekonomi kita terus meningkat.
Moderator:
Kita menyadari bahwa Indonesia telah menjadi pasar produk-produk teknologi
asing, padahal kita memiliki ratusan perguruan tinggi, lembaga riset, dan
industri. Namun, belum terlihat sinergi antara lembaga tersebut yang dapat
memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Apa yang salah dengan kondisi
tersebut menurut Bapak dan bagaimanakah Bapak dapat mensinergikan pendidikan
tinggi, lembaga riset, dan industri agar permasalahan tersebut dapat diatasi.
Hatta:
Pengembangan pusat inovasi dengan pendekatan “tripple helix” (konsep:
kerjasama antara pemerintah, perguruan tinggi, dan industri -- untuk pemahaman konsep ini bisa kunjungi http://triplehelix.stanford.edu/3helix_concept) harus kita
lakukan. Pertama, government,
mengembangkan regulasi yang pro kepada peningkatan knowledge masuk ke difusi pada sektor-sektor yang kita
prioritaskan. Yang kedua, pemerintah memberikan insentif kepada
perusahaan-perusahaan yang mengeluarkan dananya untuk kepentingan-kepentingan
riset yang bisa masuk ke dalam market.
Yang ketiga, pemerintah mengeluarkan regulasi yang memungkinkan terjadinya
percepatan program kewirausahaan, sehingga invention
(terj: hasil penemuan, ciptaan) + entrepreneurship (terj: kewirausahaan) menjadi
inovasi yang akan mengatasi persoalan-persoalan banjirnya masalah impor di
tanah air kita. Khusus masalah banjirnya impor, maka pemerintah, menurut saya,
harus dan Prabowo-Hatta betul-betul apabila diberikan mandat oleh rakyat, maka
kita sungguh ingin mengedepankan seluruh sumber daya alam kita harus kita
kelola ‘based on value added’ (terj: berbasis pada nilai tambah), tidak
bisa lagi kita kembangkan pembangunan ekonomi yang tidak berbasis kepada knowledge. Oleh sebab itulah, maka
pendekatan-pendekatan industri untuk mengurangi ketergantungan impor, terutama
yang bahan baku dan bahan penolong yang 78 persen dari impor kita adalah bahan
baku dan bahan penolong harus kita atasi dengan inovasi, dengan ‘tripple helix’, adanya kerjasama antara
lembaga-lembaga riset/perguruan-perguruan tinggi, dunia-dunia usaha, dan
pemerintah, inilah yang kita kembangkan dalam sistem inovasi nasional kita.
Kita harus fokus & konsentrasi. Yang kedua, mau tidak mau, anggaran riset
yang hanya 0,1 persen dari GDP kita harus kita tingkatkan. Kami berkomitmen
untuk menambah setidaknya 10 triliun untuk bagaimana mempercepat difusi knowledge masuk ke market di sektor-sektor yang kita unggulkan: pangan, energi,
transportasi, kesehatan, material untuk masa depan, dan pertahanan. Oleh sebab
itu, dalam konteks ini, dana tersebut bisa juga diambil dari swasta di mana spending-nya (terj: pengeluarannya) bisa kita masukkan dalam ‘tax didactable’ (terj: pajak yang bisa dialokasikan untuk pendidikan) dan ini sudah
ada di dalam undang-undang Sisnas IPTEK kita.
Sesi 4: Saling
bertanya
Hatta
(tanya): Untuk pencerahan saya, kita banyak mengenal revolusi, dan kita tahu
revolusi biasanya suatu proses yang memang terkadang sulit dikendalikan
dibandingkan reformasi misalkan. Nah,
kira-kira bagaimana revolusi mental itu? Apakah memang ada suatu values (terj: nilai-nilai) di
tanah air kita yang sudah tidak sesuai lagi sehingga harus ada revolusi,
misalkan values Pancasila yang kita
ketahui sebagai filosofi bangsa kita.
JK
(jawab): Revolusi jangan disalah artikan seakan-akan sebagai suatu
pemberontakan, tidak. Revolusi ialah bekerja cepat, perubahan cepat, karena
kita mengetahui semua Bapak calon capres tiap hari mengatakan kebocoran, mental
artinya. Kalau kita tidak cepat, bagaimana kita bisa atasi itu, bagaimana
masalah-masalah nasional kita yang akibatnya karena mental manusia, bagaimana
korupsi yang besar itu, bagaimana minuman keras, kalau ini kan asal-usulnya daripada perilaku, mental bangsa. Nah, kalau kita hanya evolusi butuh 20
tahun, sudah habis negeri ini baru selesai. Jadi kita harus bekerja keras,
bekerja bersama-sama, ini tanggung jawab semuanya, sehingga pendidikan harus
cepat merata, pendidikan bermutu, budi pekerti yang baik, itu tujuan-tujuan
berbangsa kita. Ini bukan cepat, tapi lambat karena kita sudah 60 tahun merdeka,
sistim kita masih belum sempurna untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Jadi
masalahnya ialah waktu yang mendesak dan semua kita apabila bekerja
bersama-sama, gotong royong, dalam hal pendidikan seperti saya katakan tadi,
tidak semua hal berubah, tapi memasukkannya semua. Apabila kita bicara
(pelajaran) Bahasa Indonesia, kita memberikan budi pekerti itu, semangat itu
dalam heroisme, bukan hanya cerita, tapi heroismenya kita masukkan. Apabila
kita berbicara matematika, bagaimana kejujuran kita masukkan ke situ, sehingga
angka-angka itu jangan dimanipulasi pada waktu besar contohnya. Itu semua akan
jadi bahagian, sehingga dalam waktu tidak terlalu lama hal itu dapat kita
jelaskan dengan biaya yang besar, pendidikan kita besar, guru harus diperbaiki
dengan cepat, tunjangannya harus diperbaiki dengan cepat. Itu semua yang kita
sebut suatu proses yang cepat, cepat itu kan
yang namanya revolusi.
JK
(tanya): Selalu kita menyebut bonus demografi, apalagi Bapak dan pemerintah
selalu berbicara akan terjadinya pertumbuhan karena bonus demografi. Tapi,
apabila kita tidak hati-hati, bonus demografi dapat menjadi bencana demografi.
Karena itu, apa langkah-langkah menurut Pak Hatta untuk melaksanakan bahwa
bonus demografi itu betul-betul bonus, bukan musibah.
Hatta
(jawab): Bonus demografi harus betul-betul kita manfaatkan karena hanya sekali
dan tidak akan terulang kembali. Usia produktif ini harus kita jadikan tidak
hanya usianya saja yang produktif, tapi produktivitasnya harus kita tingkatkan.
Tidak ada jalan lain, dua saja Pak JK: pertama, pendidikan, dan yang cepat
adalah bagaimana upaya-upaya kita, faktor yang kita sebut dengan total factor productivity masuk ke dalam
elemen pertumbuhan ekonomi kita, dan itulah yang kita sebut dengan science and techlonogy. Oleh sebab itu
maka bonus demografi ini haruslah kita isi masyarakat Indonesia dengan ilmu
pengetahuan dan berkemampuan teknologi, sehingga bonus demografi tersebut dapat
meningkatkan pertumbuhan netto akibat dari bonus demografi tersebut. Kira-kira
lebih dari 10 persen menurut perkiraan saya apabila betul kita serius menangani
dengan baik. Yang kedua, bonus demografi ini haruslah betul-betul kita
manfaatkan di mana kesenjangan usia yang muda dari usia 0-15 tahun yang
non-produktif dan yang usia di atas 60 tahun yang tidak produktif, yang ini itu
kita dekati dengan program-program ‘social
protection’ (terj: perlindungan
sosial), sedangkan untuk program-program (pada usia) yang produktif kita dorong
untuk meningkatkan kinerja dan mengembangkan dua program, yaitu employment (terj: ketenagakerjaan) dan kewirausahaan. Dengan demikian maka usia
produktif bisa kita tingkatkan productivity-nya.
Hatta
(tanya): Barusan saya tadi mendengar Pak JK mengatakan soal sertifikasi guru,
tapi seingat saya justru itu yang tidak disetujui atau ditolak sistem sertifikasi
guru tersebut. Apa betul begitu Pak JK?
JK
(jawab): Karena kita bicara visi misi, Pak Hatta boleh baca semua visi misi
kita, apakah ada itu, jelas tidak ada. Yang ada ialah peningkatan seluruh
kesejahteraan guru. Tentu kesejahteraan guru itu termasuk sertifikasi, karena
sertifikasi sendiri ada dalam undang-undang. Tidak mungkin seorang presiden
bisa dengan seenaknya membatalkan undang-undang, karena itu adalah tidak
mungkin Jokowi-JK ingin mengatakan sertifikasi ditiadakan. Pertama tadi tujuan
kita adalah meningkatkan guru, tunjangan guru, kesejahteraan guru. Kedua, ini
undang-undang, tidak mungkin tanpa persetujuan semua partai, ini adalah tidak
mungkin, dan justru Jokowi-JK tetap ingin ada sertifikasi dan dilaksanakan
sebaik-baiknya.
JK
(tanya): Kita masih mengirim, ini masalah sumber daya manusia, kita masih
mengirim tenaga kerja Indonesia ke luar negeri dalam jumlah yang banyak. Banyak
yang mengalami masalah-masalah di negara-negara Timur Tengah juga negara
tetangga kita. Pertanyaannya, apakah kebijakan mengirim tenaga TKI itu masih
dipertimbangkan, atau dilanjutkan, atau dihentikan. Bagaimana pendapat Pak
Hatta.
Hatta
(jawab): Yang pertama, kita harus mendorong pertumbuhan ekonomi kita,
mengembangkan program-program kewirausahaan, mengembangkan usaha-usaha kecil,
menengah, koperasi, agar kita dapat meningkatkan employment tenaga kerja di tanah air kita, itu yang pertama. Sehingga
bangsa kita akan menjadi bangsa yang bermartabat, bangsa yang terhormat, tidak
sekedar mengirim tenaga rumah tangga misalkan, dan sebagainya. Yang kedua, kita
boleh mengirim tenaga ke luar negeri, tapi tenaga skilled, bukan labour
atau cheap labour, tenaga murah,
tenaga kasar, karena itu akan mengganggu harkat dan martabat bangsa kita. Oleh
sebab itu, yang ke luar negeri harus memiliki skill tertentu, harus memiliki kemampuan untuk meningkatkan
pendapatannya dan mampu bersaing dengan negara-negara lain. Sedangkan untuk
tenaga kerja wanita, saya berpendapat sebaiknya kita moratorium karena terlalu
banyak persoalan-persoalan yang menyangkut case,
legal case (terj: kasus/perkara hukum/keabsahan) yang mengganggu harkat dan
martabat bangsa kita.
Sesi 5: Saling
Berdebat
JK
(tanya): Pak Hatta, setiap kali debat, Pak Prabowo mengatakan tentang kebocoran
luar biasa daripada keuangan negara, artinya korupsi daripada ini.
Pertanyaannya, apakah Anda ketahui itu selama di pemerintahan bahwa ada
kebocoran 3 triliun per hari? Kedua, apakah karena korupsi itu pasti diperbuat
oleh penyelenggara negara, pegawai negeri, dan penyelenggara lainnya, anggota
DPR, apakah sumber daya manusia penyelenggara negara sebegitu jeleknya,
sehingga bisa terjadi itu?
Hatta
(jawab): Saya perlu menjelaskan, Pak Prabowo Subianto, Capres kami, tidak
mengatakan kebocoran itu bersumber 1000 triliun dari APBN, bagaimana mungkin,
APBN kita 1800 triliun. Akan tetapi, yang dimaksud adalah ‘potential lost’ yang bisa terjadi di dalam perekonomian kita. Saya
beri contoh Pak JK, yang dimaksud dengan ‘potential
lost’, misalkan apabila kita hanya pandai menjual bahan mentah saja, maka
kita tidak akan mendapatkan ‘value added’
(terj: nilai tambah) sama sekali.
Atau kita tidak menjaga kekayaan alam kita yang dicuri, maka kita mengalami ‘potential lost’. Atau misalkan kita
menjual gas ataupun batu bara yang harga market-nya
terlalu murah dan kita tidak bisa melakukan renegosiasi karena itu, maka ini
adalah ‘potential lost’. ‘Potential lost’ ini bisa terjadi karena
kelemahan manajemen. Pemerintahan Pak SBY sudah melakukan perbaikan ke arah
situ. Jadi, tidak betul kalau 1000 triliun itu kebocoran dari APBN.
JK
(menanggapi): Kalau itu kebocoran tentu juga tercermin di KPK atau kejaksaan.
Apakah itu, begitu besarnya itu termasuk karena mafia minyak, mafia daging,
atau mafia bibit, atau mafia gula yang tersebar di KPK, ataupun penyelesaiannya
bagaimana menurut Anda, apa usaha menyelesaikan itu apabila dikatakanlah Anda
diberikan amanah.
Hatta
(jawab): Pak JK, apapun yang namanya mafia, mafia hukum, mafia minyak, mafia
apapun, adalah tindak kejahatan, serahkan pada penegak hukum, KPK akan
bertindak untuk itu. Akan tetapi kalau yang dimaksud adalah mengapa kita
mengimpor minyak, Pak JK kan bagian
dari pemerintahan KIB 1 (Kabinet Indonesia Bersatu 1), tahu mengapa kita
mengimpor minyak. Bahkah angka psikologis 1 juta barrel turun ke angka 900 ribu
justru di jaman Pak JK. 12 persen declining
(terj: berkurang), pemerintah
sekarang, Pak SBY, menahan declining
tersebut pada angka 3-5 persen. Memang menurun, secara natural itu terjadi.
Oleh sebab itu, mengimpor minyak bukan sebuah kejahatan. Akan tetapi apabila
ada tindak kejahatan, maka KPK, polisi, kejaksaan akan turun tangan melakukan
tindakan hal seperti itu. Saya setuju bahwa kita harus memperbaiki tata kelola
pemerintahan kita dengan baik, ‘good
governance’, transparan, dan akuntabel.
Hatta
(tanya): Bapak Muhammad Jusuf Kalla yang saya hormati, pertanyaan saya ringan
saja Bapak. Orang sering menanyakan tentang daya saing bangsa kita. World Economic Forum mengeluarkan apa
yang disebut dengan ‘the global
competitiveness index’ (terj:
indeks daya saing global), ada tiga indikator utama yang dikeluarkan yang
mempengaruhi indeks daya saing kita. Manurut Pak JK, indeks manakah yang paling
perlu kita atasi dan secepat mungkin bisa meningkatkan global competitiveness kita.
JK
(jawab): Indeks yang paling mudah ialah indeks kemudahan berusaha, karena di
Indonesia kita tahu semua kita pernah kemudahan berusaha itu di atas 100,
sekarang kita turunkan waktu itu menjadi 60’an untuk mendekati Malaysia yang
kira-kira 30’an. Jadi apabila kita ingin perbaikan dalam rangka indeks itu,
maka kemudahan berusaha Indonesia sama dengan ijin-ijin, birokrasi perijinan,
ataupun bagaimana mengatasi birokrasi di daerah, bagaimana mengatasi ijin-ijin
di kota, itulah yang paling berat untuk indeks pengusaha ekonomi itu, yang
menjadi bahagian dari kesulitan-kesulitan di Indonesia. Yang kedua, juga
masalah perburuhan yang selalu menjadi masalah-masalah di Indonesia, dan itu
menjadi bahagian daripada upaya kita tentu harus memperbaikinya. Jadi lebih
masalahnya adalah masalah birokrasi dalam negeri sehingga harus diperbaiki.
Hatta
(menanggapi): Saya kira apa yang disampaikan itu tidak sepenuhnya mengena Pak
JK, karena ‘easy in bussiness’ itu
perlu. Tapi menurut saya di dalam ‘the
global competitiveness’ yang paling penting adalah inovasi bangsa. Technological readiness – kesiapan kita
soal teknologi – dan menurut pandangan saya yang paling fundamental adalah
menyelesaikan infrastruktur dasar. Infrastruktur dasar inilah yang paling besar
pengaruhnya kepada ‘global
competitiveness index’ itu.
JK
(jawab): Tadi memang karena meminta pendapat saya. Dan dalam
pembahasan-pembahasan, juga di pemerintahan, waktu saya masih di pemerintahan,
itulah yang selalu menjadi bahagian upaya yang harus diselesakan. Bahwa infrastruktur
penting, tentu pertanyaannya juga apa yang terjadi dewasa ini, karena pada
waktu kita masih di pemerintahan, kita bikin listrik, kita bikin apa, sekarang
anda tidak bikin lagi masalahnya, dan itu masalahnya juga kenapa tidak terjadi.
Jadi bahwa infrastruktur itu penting, tapi infrastruktur itu tidak hanya
diucapkan, tapi dilaksanakan Pak Hatta. Jadi kalau kita bicara ‘akan’, semua di
sini bicara ‘akan’, tapi bagaimana melaksanakannya, itu yang penting. Jangan
mati lampu lah listrik kita, nanti susah kita pidato, itu yang terjadi di
Jakarta ini. Jadi, saya setuju bahwa infrastruktur penting, tapi tidak untuk
dipidatokan, tetapi untuk dilaksanakan.
JK
(tanya): Ini juga ringan saja. Pak Hatta, Anda kan pernah menteri Ristek. Pertanyaannya sederhana, Ristek itu
inovasi, pengembangan teknologi dalam pencapaian sesuatu, pada saat Anda jadi
menteri, inovasi apa yang begitu menggembirakan Anda, yang mengenang sampai
sekarang, yang bermanfaat untuk bangsa ini sehingga perlu untuk kita share untuk memberikan selamat atas
inovasi itu.
Hatta
(jawab): Sebelum inovasi, saya meletakkan dulu dasar-dasar kita untuk
mengembangkan sistem, penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan
& teknologi. Oleh sebab itu tahun 2002 saya tuntaskan undang-undang sistem
nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan &
teknologi. Inilah sebagai dasar legal
kita untuk melakukan spending,
pemerintah ke swasta, dan juga dunia usaha bisa mengeluarkan dananya, dan
pemerintah bisa mengeluarkan insentif untuk itu. Dari undang-undang ini, maka environment menjadi kondusif,
mengembangkan tripple helix dan
sebagainya. Kalau Pak JK (bertanya) inovasi apa, saya ingin sampaikan, yang
pertama di bidang pangan, begitu banyak, Pak JK, temuan-temuan genetic modified (terj: rekayasa genetika) di bidang pangan, padi terutama, yang
diaplikasikan oleh LIPI dan BPPT yang bermanfaat, dan juga oleh perguruan
tinggi IPB, karena kami memfokuskan pada waktu saya IPB fokus kepada pangan,
ITB kepada material, dan transport di
Timur. Itu bermanfaat sampai sekarang dan tetap dijalankan. Yang kedua di
bidang energi, Pak JK masih ingat saya menggagas “tidak boleh lagi membangun
pembangkit di bawah 15 megawatt tanpa menggunakan kolaborasi nasional kita” dan
itu kita bangun 2x7 megawatt di Kalimantan Timur dan sampai sekarang berjalan.
Saya sayangkan kalau kemudian kita membangun 10000 megawatt, yang 100 persen
China dan tidak sama sekali membangun kemampuan dalam negeri kita. Nah, menurut saya, saya bangga dengan
hal itu Pak JK.
JK
(menanggapi): Jadi bangga bahwa hasilnya undang-undang tadi, bukan inovasi
teknologi yang pokok. Tadi benar kalau inovasi bibit, tapi kita masih impor
beras makin banyak malahan. Nanti pada jaman 2008/2009 kita swasembada pangan,
minta maaf, waktu saya di pemerintahan. Tapi, setelah itu impor lagi, jadi
bagaimana terjad bibit yang diciptakan itu ternyata impor terus. Ini penting
untuk diketahui bahwa memang kita harus konsekuen pada pelaksanaan daripada
hal-hal tersebut untuk mencapai suatu swasembada, kontinyuitasnya, dan
sebagainya. Tentang listrik, yang diimpor China di atas 100 megawatt, Anda
tahu, semua dibawah 50 ke bawah itu diberikan kepada pengusaha nasional untuk
mengembangkan teknologi nasional, itu aturannya pada jaman 10000 itu. Jadi
bukan justru kita bikin aturannya, yang dibawah 50 harus nasional, tetap
konsekuen pada itu bahwa ada yang tidak selesai saya kira, itu masalahnya.
Hatta
(jawab): Pak JK, memang saya bangga karena itu inovasi, karena inovasi adalah invention (terj: hasil temuan/ciptaan), temuan, hasil riset yang terdifusi di
dalam sektor, dan itu menghasilkan bibit unggul yang sekarang masuk ke dalam market, itulah inovasi. Jadi inovasi
yang sangat mendasar menyangkut pangan nasional kita. Nah, bahwa kita masih
mengimpor, Pak JK kan sudah paham
juga kita sebetulnya sudah berswasembada pangan, beras. Akan tetapi selalu saja
ada slot (terj: celah) untuk mengimpor, untuk kebutuhan-kebutuhan masyarakat
asing yang memerlukan beras-beras tertentu. Akan tetapi kebutuhan mendasar
kita, itu sudah swasembada pangan, kecuali apabila terjadi iklim ekstrem, di
mana negara kita sering kali terjadi iklim ekstrem yang mengganggu produksi
kita, maka kita melakukan impor, hanya bersifat insidentil. Nah, oleh sebab itu menurut pandangan
saya, agenda-agenda riset ke depan adalah membangun, mengembangkan riset-riset
yang sungguh berkaitan dengan sustainability
(terj: keberlanjutan) pangan dan
energi kita.
Hatta
(tanya): Saya membaca di dalam visi-misi Bapak JK dan Pak Jokowi, itu memang
tidak lagi memperhitungkan atau menolak ujian nasional, ini suatu perkembangan
buat saya yang cukup menarik, karena saya tahu waktu kita sama-sama di KIB,
Bapak promotor utama untuk ujian nasional. Apakah ada suatu perubahan di Pak
JK, kalau ada perubahan kira-kira hal apa yang salah dalam sistem ujian
nasional kita.
JK
(jawab): Pak Hatta, kalau Anda baca betul tentang visi-misi kami bunyinya
adalah “akan dievaluasi sistem pendidikan seperti kurikulum dan juga akan
dievaluasi ujian nasional”. Evaluasi itu boleh diperbaiki sistemnya, boleh
bobotnya, boleh apapun. Tapi evaluasi tidak menghilangkannya dalam segera. Jadi
evaluasi, contohnya saja, dulu soal hanya satu, kemudian karena orang suka nyontek (maka) dijadikan dua, sekarang
soalnya dua puluh (dalam) satu kelas. Dulu bobotnya 100 persen ujian nasional
untuk kelulusan, sekarang cuma 60 persen, 40 persen ke daerah, jadi
didaerahkan. Tadi pertanyaan Ibu (moderator) bagaimana kesenjangan pendidikan
di daerah-daerah luar biasa. Tidak mungkin kita perbaiki kesenjangan itu kalau
tidak pemetaan, dan pemetaan tidak mungkin dapat diketahui kalau tidak ujian
nasional, karena ujian nasional itu merupakan sejarah lama, bukan (hanya)
sekarang, tahun 50’an sudah ujian nasional, tahun 60’an ada, tahun 80’an ada.
Di negara-negara maju semua ujian nasional. Jadi kesimpulannya, kurikulum,
ujian nasional, semuanya secara bertahap selalu dievaluasi sesuai dengan
waktunya, untuk memenuhi tadi bahwa ada kesenjangan nasional sehingga
kesenjangan itu diatasi dengan pengetahuan dan pemetaan. Tanpa itu tidak
mungkin kita atasi kesenjangan pendidikan nasional.
Hatta
(menanggapi): Tapi saya belum puas karena (pertanyaannya) apa yang dievaluasi?
Dan kalau membaca itu runtun memang yang ditolak itu adalah penyeragaman,
penyamarataan. Sistem ujian nasional kita itu tidak sekedar indikator
kelulusan, tapi juga indikator kompetensi daerah, sehingga kita bisa mengukur
berapa jauh daerah memiliki kualifikasi, memiliki kualitas. Nah, tentu para pakar-pakar pendidikan
kita sudah memperhitungkan, menggabungkan antara standar nasional dan
memperhitungkan standar yang berlaku di daerah. Kalau Pak JK ingin melakukan
evaluasi, pada sisi apanya? Karena menurut pandangan kami 3 kompetensi akan
dihasilkan apabila sistem ini konsisten kita jalankan, yang pertama tentu
kompetensi knowledge, yang kedua itu
kompetensi skill, dan yang ketiga
tentu adalah kompetensi attitude (terj: sikap/pendirian). Dan tiga ini
tentu attitude ya attitude Republik Indonesia. Jangan
nanti kita justru tidak memiliki suatu identity,
karena sistem kita yang tidak menganut kepada satu, katakanlah perpaduan antara
nasional dan daerah tersebut. Pertanyaan saya adalah bagaimana yang dievaluasi,
pada sisi apanya?
JK
(jawab): Saya ingin lebih dahulu memberikan pengalaman, kita sama-sama mentri
waktu itu, 2003. Bagaimana mutu pendidikan pada waktu itu, kalau kita uji
nasional dengan angka 3,5, 60 persen tidak lulus (maksudnya pada angka 5), maka
diturunkan waktu itu diluluskan dengan angka 3,5. Bayangkan nilai pendidikan
nasional lulus dengan 3,5. Sekarang naik 5,5 angka kelulusan, alhamdulilah yang tidak lulus di bawah 1
persen. Jadi luar biasa kemajuannya. Jadi evaluasi itu terus-menerus dibuat,
sehingga akan terjadi suatu perubahan-perubahan yang baik daripada sistem itu.
Evaluasi bisa sistemnya, bisa kontennya, bisa pelaksanaannya, semua tergantung
permasalahannya. Seperti dulu, saya katakan lagi, dulu 100 persen penilaian
oleh nasional, sekarang sisa 60 persen. Itu juga evaluasi. Jadi, banyak hal
yang bisa dievaluasi secara terus-menerus untuk mencapai hal yang lebih baik.
JK
(tanya): Pak Hatta, kita sudah bicara banyak tentang SDM, sekarang kita bicara
tentang kelembagaan. Kita tahu dari tadi lembaga riset nasional ada LIPI, ada
BPPT, dan banyak sekali. Bagaimana cara menyatukan agar kita efisien dalam hal
riset dan hasilnya bisa terukur, sehingga bukan hanya biayanya memang kecil,
tapi hasilnya harus terukur berapapun biaya dari hal tersebut. Tentu apalagi
kita berusaha meningkatkan biaya, sehingga biaya dan hasil harus terukur untuk
mencapai hasil itu. Bagaimana menurut Anda yang kita capai.
Hatta
(jawab): Kita punya 7 lembaga di bawah Kementrian Riset dan Teknologi yang
semuanya memiliki kompetensi masing-masing. Misalkan LIPI –lembaga ilmu
pengetahuan Indonesia– banyak yang melakukan riset-riset dasar, termasuk riset
sosial. BPPT melakukan bukan lembaga riset, BPPT itu badan pengkajian dan
penerapan teknologi. Jadi semacam ‘clearing
house’ teknologi sebetulnya, idenya ke sana. Dan kalau dulu namanya
Bakosurtanal yang sekarang menjadi lembaga spasial itu punya kompetensi
tersendiri pula, demikian juga Bappeten, mengawasi nuklir, BATAN adalah
melakukan riset-riset nuklir yang sangat maju di Indonesia terutama di dalam
ilmu-ilmu kedokteran. Pertanyaannya yang pertama, kita tidak perlu, misalkan
memaksakan tujuh lembaga tersebut harus sama melakukan riset, mereka memiliki
kompetensi. Akan tetapi yang paling penting adalah bagaimana output dari lembaga-lembaga tersebut
dapat terdifusi di dalam sektor-sektor yang sungguh memberikan manfaat, bisa
kita katakan sebagai inovasi dan sebagainya. Yang paling penting yang kedua
adalah jangan ada redundant (terj:
berlebih-lebihan) dalam penelitian karena anggaran terbatas, tapi juga saya
menganjurkan kepada lembaga-lembaga tersebut, apabila kami terpilih, untuk
berkolaborasi dengan dunia swasta, perguruan tinggi, agar terjadi apa yang
disebut sebagai tripple helix untuk
menghasilkan inovasi bagi bangsa kita.
JK
(menanggapi): Yang saya maksud tadi akuntabilitas daripada lembaga riset itu
harus juga terjamin, sehingga apabila kita ingin tingkatkan biaya, kita tahu
juga apa yang dicapai dan yang ingin dicapai. Bahwa mereka berbeda-beda segmen
(itu) otomatis pasti, tapi tetap harus terkoordinasi karena mentri riset
mungkin bukan BPPT yang mengkoordinasinya tapi mentri risetnya yang harus
mengkoordinasi daripada hasil-hasilnya, sehingga hasil-hasilnya jelas untuk
kebaikan semua. Karena tadi hampir semuanya kita merasa bahwa riset kita belum
mampu untuk mengatasi dinamika kemajuan teknologi, sehingga kita kemasukan
teknologi yang paling banyak dari luar, itu yang saya maksudkan. Bahwa
bagaimanapun koordinasi dan ukuran-ukuran keberhasilan itu tetap harus kita
punyai.
Hatta
(jawab): Tentu saja Bapak JK yang terhormat, koordinasi harus dilakukan. Oleh
sebab itu 7 lembaga itu berada langsung di bawah koordinasi Kementrian Riset
dan Teknologi. Nah, kita setuju bahwa
harus ada penajaman pada riset-riset yang bisa cepat terdifusi di dalam
sektor-sektor. Oleh sebab itu, koordinasi yang menyangkut anggaran, koordinasi
yang menyangkut riset-riset yang betul-betul diperlukan oleh bangsa ini. Saya
menyebutkan 6 yang terpenting sekali: pangan, energi, transportasi, pertahanan,
kedokteran & kesehatan, dan menyangkut kebumian; termasuk juga di dalamnya
adalah maritim kita. Nah, ini memang
penajaman pada sisi itu harus kita lakukan, agar semakin cepat aliran dari knowledge menuju ke inovasi untuk
membangun perekonomian bangsa kita, saya setuju. Untuk itu, harus ada
koordinasi yang baik, hal seperti itu terutama di dalam pendanaan dan
penajaman-penajaman.
Hatta
(tanya): Apa kira-kira pandangan Pak JK terhadap sistem pendidikan kita
sekarang ini dan dikaitkan dengan pandangan Pak JK pada waktu dulu yang kurang
sependapat pendidikan gratis, sekarang ini pendidikan gratis dikembangkan
sampai 12 tahun. Seperti misalkan kami menggratiskan pendidikan mulai usia dini
sampai ke SMA. Nah, kira-kira apakah
dalam konteks ini Pak JK melihat ada yang disebut dengan keadilan inklusivisme
di situ dan pendidikan yang bersifat universal.
JK
(jawab): Pendidikan gratis adalah keniscayaan, sudah terjadi sesuai aturan,
otomatis kita harus laksanakan. Bahwa kita boleh berbeda pandangan sebelumnya,
begitu kita sepakat, maka kita sepakat, itu yang saya ingin sampaikan. Kenapa
harus ada ‘cross subsidy’ (subsidi
silang), karena apabila tidak ada ‘cross
subsidy’ di antara mampu & tidak mampu, maka akan terjadi dua kelas
pendidikan. Pendidikan gratis penting, namun bagi yang mampu ternyata membayar
puluhan kali lipat daripada seharusnya, karena dia inklusif di sekolah-sekolah
yang katakanlah sekolah internasional. Maka, merekapun harus membayar sesuatu
untuk ‘cross subsidy’ kepada yang
tidak mampu dalam bentuk pajak yang baik, dalam bentuk suatu kerjasama supaya
jangan terjadi dua kelas pendidikan. Pendidikan yang gratis dan pendidikan yang
mahal, yang terjadi harus ada kerjasama keduanya. Walaupun tentu kita setuju
dan kita harus menjalankan sekolah gratis itu, yang kita kenal dengan Indonesia
pintar dan sebagainya, karena sangat penting untuk rakyat. Tapi realitanya
adalah masyarakat yang mampu, mungkin juga cucunya Pak Hatta sekolah di mana?
Sekolah gratis atau sekolah mahal cucunya Pak Hatta? (Hatta: cucu belum
sekolah) Anak sekolah mahal? (Hatta: [senyum & mengangguk]). Ini untuk
diketahui bahwa ada hal yang harus kita perbaiki sistem ini, sehingga tetap ada
‘cross subsidy’ sehingga tidak
menimbulkan dua macam sekolah yang berlebihan sehingga dapat kita menjamin arah
pendidikan nasional yang benar, seperti itu.
Hatta
(menanggapi): Saya masih belum pas betul dengan jawaban tadi, karena menurut
pandangan kami pendidikan yang berkeadilan dan inklusif serta berkesinambungan
itu adalah hak mendasar dari warga negara. Sebagaimana disebutkan di dalam
pasal 31 ayat 1 “tiap-tiap warga negara berhak atas pendidikan”, ayat 2-nya
mengatakan “setiap warga negara wajib memenuhi pendidikan dasar, pemerintah
wajib membiayai”. Inilah yang disebut dengan inklusif & berkeadilan, tidak
membedakan. Sedangkan apabila ada kaya dan miskin, tidak tercermin di dalam
sekolah gratis, yang kaya akan membayar pajak lebih besar daripada yang miskin,
tentu ia memenuhi kewajiban-kewajiban konstitusinya dalam kapasitasnya sebagai
orang kaya, tapi tidak pada pendidikan itu. Oleh sebab itu, kita bersyukur
bahwa konstitusi kita sudah mengatur tentang pendidikan yang dibiayai oleh
negara. Kalau perlu kita terus naik sampai ke tingkat perguruan tinggi.
JK
(jawab): Saya ingin tegaskan bahwa saya, kita Jokowi-JK sangat setuju dan
mendorong sekolah gratis sejak lama. Yang saya arahkan, ada kerjasama antara
sekolah yang mempunyai fasilitas lengkap karena itu membayar, sehingga
sekolah-sekolah sekitarnya ada kerjasama, dapat memakai fasilitas
sekolah-sekolah itu untuk justru pemerataan lingkungannya. Jadi sekolah-sekolah
yang bayar mahal, satu murid bisa 2 juta-3 juta perhari, fasilitasnya lengkap,
ada lapangan bolanya dan sebagainya, mungkin dibutuhkan kerjasama-kerjasama itu
sekolah sekitarnya, sehingga dapat orang yang membayar itu memberikan share kepada orang yang sekolah gratis,
yang tidak mempunyai fasilitas yang cukup. Itu yang saya maksud bahwa harus ada
‘cross subsidy’ antara sekolah yang
mahal dan sekolah yang gratis, sehingga terjamin suatu korelasi, tidak
menimbulkan gap-gap di antara
masyarakat sekitarnya.
Sesi 6: Closing
Statement
Hatta:
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa
barokatuh. Rakyat Indonesia yang saya cintai di manapun berada. Para
ibu-ibu, para pedagang asongan, para nelayan, para buruh, para dokter, para
perawat, para teknisi, semua yang ada di seluruh tanah air. Mari sejenak kita
bayangkan, mimpi kita adalah agar masa depan anak-anak kita lebih baik, lebih
cerah, dan ibu-ibu tidak mengkhawatirkan masa depan anak-anaknya. Oleh sebab
itu, kita harus bekerja keras membangun bangsa ini, sungguh menjadi Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Mari sejenak kita bayangkan, seandainya sumber daya alam kita depleted (terj: habis), habis karena non-renewable
(terj: tidak dapat diperbaharui),
pasti habis. Pertanyaan kritis kita, apakah negara kita akan collapse (terj: runtuh), apakah kita akan defeated
(terj: kalah/takluk), apakah kita
akan tersisih, jawabannya TIDAK! Karena Prabowo-Hatta mengedepankan konsep
pembangunan, meletakkan sumber daya manusia dan kemampuan ilmu pengetahuan
& teknologi sebagai pilar utama membangun bangsa yang kita cintai ini.
Energi kita bisa habis, tapi kecerdasan anak-anak ibu-ibu yang kita didik akan
melahirkan generasi-generasi tangguh, yang akan menjawab tantangan pada
zamannya. Insya Allah Indonesia akan menjadi negara yang maju, negara yang
sejahtera, negara yang disegani, MACAN DI ASIA, dan disegani di dunia. Terima
kasih kepada istri saya, kepada keluarga saya, dan kepada sahabat saya, terima
kasih semuanya. Wassalamu’alaikum wa
rahmatullah wa barokatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar