skip to main | skip to sidebar

Tentang Antropologi, Sosial, Budaya, Musik, dan Sesuatu :)

"Kalau Anda hanya melihat riak gelombang, Antropolog menyelami dalamnya dasar lautan."

  • Entries (RSS)
  • Comments (RSS)
  • Home
  • About Us
  • Archives
  • Contact Us

Kamis, 03 Juli 2014

Transkrip Debat Cawapres 29 Juni 2014 (Khusus Hatta Rajasa)

Diposting oleh Ypdn di 07.45
Tampaknya pada pemilu presiden 2014 ini banyak sekali terjadi kampanye hitam dan kampanye negatif. Hal tersebut dapat tercermin dari gambar di atas. Sebelum saya melanjutkan, perlu ditegaskan lebih dahulu di sini bahwa saya memihak kepada pasangan nomor urut 1, jadi saya akan hanya membahas mengenai kampanye hitam yang menyerang pasangan nomor urut 1 dan meluruskan apa yang sebenarnya terjadi. Banyak sekali cara melakukan kampanye hitam, salah satunya adalah dengan menyebarkan informasi yang tidak didasari dengan kenyataan. Dengan kata lain, informasi tersebut telah pelintir. Hal ini juga yang terjadi pasca debat Cawapres yang dilaksanakan pada tanggal 29 Juni 2014 kemarin.

Di beberapa situs dan jejaring sosial, telah beredar foto yang menyamakan gaya bicara Hatta Rajasa dengan Vicky Prasetyo yang sempat terkenal karena gaya bicaranya yang terkesan 'intelek' namun diksinya tidak pas. Kita tentu tahu perbedaan H.H. Hatta Rajasa dengan Vicky Prasetyo, bila Pak Hatta, memang gaya bicaranya terkadang menyelipkan istilah asing, terutama untuk istilah yang konseptual, dan diksi yang digunakan oleh Pak Hatta tentu sesuai dengan makna kalimat yang dimaksud.  Sedangkan Vicky, dia menggunakan kata yang maknanya sebenarnya tidak sesuai dengan kalimat yang ia maksud, dengan kata lain diksinya tidak pas.

Selain menyamakan Hatta Rajasa dengan Vicky Prasetyo, foto tersebut juga mengandung unsur fitnah. Ada kata-kata dari Hatta Rajasa yang dipelintir, sehingga seolah-olah gaya bahasanya mirip dengan Vicky Prasetyo. Unsur fitnah dan menyebarkan informasi yang tidak benar ini merupakan indikasi dari kampanye negatif. Dalam foto tersebut dituliskan bahwa Hatta Rajasa Mengatakan "Inovasi adalah invention yang terdifusi hasil dari UU". Kalimat tersebut nyata-nyata telah dipelintir atau diplesetkan dari kalimat aslinya. Padahal kalimat asli yang diucapkan oleh Hatta Rajasa adalah "Pak JK, memang saya bangga karena itu inovasi, karena inovasi adalah invention (terj: hasil temuan/ciptaan), temuan, hasil riset yang terdifusi di dalam sektor, dan itu menghasilkan bibit unggul yang sekarang masuk ke dalam market, itulah inovasi." Jadi, makna kalimat yang ada dalam foto tersebut dengan fakta yang ada sangat berbeda.

Hal seperti itu memang kelihatannya sepele, tetapi sesungguhnya merupakan bagian dari upaya pencemaran nama baik yang akan berdampak pada pemilu ini. Masyarakat kebanyakan memang percaya dengan apa yang tersebar di media sosial, dan menganggap hal tersebut seolah-olah benar. Banyak orang yang tidak memverifikasi kebenaran dari informasi yang ia dapat. Bila hal itu yang terjadi, maka informasi yang beredar di masyarakat merupakan informasi yang tidak benar, yang diedarkan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab, dan itu sangat berbahaya bagi kehidupan demokrasi di Indonesia.

Untuk keperluan agar masyarakat bisa memverifikasi kebenaran dari informasi-informasi tersebut, maka saya menyempatkan diri untuk menuliskan transkrip dari acara yang telah berlangsung akhir pekan lalu. Agar masyarakat lebih mudah untuk memahaminya, maka saya sertakan terjemahan di beberapa kata asing dan di beberapa konsep ilmiah yang dipakai. Berikut ini transkrip debat cawapres 2014, 29 Juni 2014.



DEBAT CAWAPRES 2014 29 JUNI 2014: JK VS HATTA


Sesi 1: Visi & Misi

Hatta: Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan pada kita bahwa kita mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusia dan penguasaan ilmu pengetahuan & teknologi. Sedangkan kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan oleh dua faktor utama: pendidikan dan kesehatan. Sejarah umat manusia mencatat, jatuh bangunnya peradaban manusia sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia dan penguasaan ilmu pengetahuan & teknologi pada zamannya. Prabowo dan Hatta berkeyakinan, Indonesia dapat menjadi negara yang sejahtera, maju, dan berperadaban, apabila sungguh kita meletakkan sumberdaya manusia dan penguasaan ilmu pengetahuan & teknologi sebagai pilar utama membangun peradaban bangsa. Kata kunci dan tantangan yang kita hadapi adalah sejauh mana kita dapat menjamin seluruh warga bangsa kita untuk dapat menikmati pendidikan yang inklusif, berkeadilan, berkualitas, sedini mungkin, setinggi mungkin, menjangkau seluas mungkin. Di sinilah tantangan yang harus kita jawab. Prabowo dan Hatta Rajasa menjawab itu dengan memperbaiki kualitas pendidikan, memperluas akses, dan mempermudah jangkauan, dengan mewajibkan kita untuk berpendidikan dua belas tahun karena itu hak yang mendasar bagi warga negara kita. Di bidang IPTEK, tentu saja pemerintah wajib memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memajukan peradaban dan memakmurkan umat manusia. Kata kunci di dalam IPTEK ada tiga: bagaimana IPTEK kita dapat membangun daya saing bangsa; yang kedua bagaimana IPTEK kita dapat menjawab/merespons keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam kita baik nir-hayati maupun hayati; dan yang ketiga adalah bagaimana IPTEK kita mampu menyiapkan masyarakat Indonesia yang kritis, yang inovatif, untuk menjawab tantangan globalisasi yang semakin ketat. Di bidang kesehatan kita akan melanjutkan perbaikan gizi masyarakat, memperluas akses pelayanan BPJS, baik cakupan maupun mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Apabila kita melihat, kita pun penting meningkatkan productivity dari tenaga kerja kita yang 46 persen masih berpendidikan SD. Oleh sebab itu penting bagi kita untuk meningkatkan productivity dengan membuka balai-balai latihan, meningkatkan pusat-pusat keunggulan, pusat-pusat inovasi agar seluruh komponen masyarakat kita mendapatkan pendidikan, mendapatkan kesehatan, dan mendapatkan ilmu pengetahuan untuk membangun peradaban bangsanya.


Sesi 2: Pendalaman Visi & Misi

Moderator: Mohon Bapak untuk lebih mempertajam lagi bagaimana bapak dapat mewujudkan pendidikan inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan, sedini dan sejauh mungkin, mengingat kondisi anggaran kita saat ini yang terbatas. Serta bagaimana pula Bapak dapat meningkatkan produktivitas, menumbuhkan pusat-pusat inovasi dengan kondisi tidak hanya keterbatasan anggaran, tetapi juga keterbatasan kualitas sumber daya manusia.

Hatta: Pendidikan berkeadilan, inklusif, dan berkualitas adalah kewajiban konstitusi, negara wajib melaksanakan itu. Ini adalah amanat konstitusi kita pasal 31 ayat 1, ayat 2, dan ayat 5 tentang IPTEK. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan bagi kita melaksanakan itu dan anggaran tentu saja dapat kita siapkan untuk sumber daya manusia yang merupakan pilar utama membangun bangsa ini. Untuk membangun pusat-pusat inovasi, penting bagi kita karena itu merupakan bagian daripada peningkatan daya saing bangsa kita. Tidak mungkin kita tidak membangun “the centre of excellent” –pusat-pusat keunggulan— kalau kita sungguh ingin meningkatkan daya saing bangsa kita. Oleh sebab itu maka, yang pertama Prabowo-Hatta mempersiapkan untuk (pendidikan) inklusif dan berkeadilan tersebut: pertama, anggaran kita naikkan, terutama untuk perguruan tinggi kaitannya dengan IPTEK, meningkatkan bantuan operasi dua kali lipat ke depan, menyalurkan 10 triliun dalam waktu 5 tahun ke depan untuk dana-dana riset yang fokus kepada prioritas-prioritas, mempercepat difusi (penyebaran) dari temuan-temuan dari knowledge kita agar dapat diterapkan dalam sektor-sektor yang betul-betul penting, yaitu: pangan, energi, transportasi, kesehatan, dan sebagainya. Oleh sebab itu, kita harus mengembangkan pendanaan tersebut untuk tiga hal utama. Pertama, harus kualitas, keterjangkauan, dan ketersediaan; yang kedua, guru harus kita tambah dalam waktu lima tahun ke depan sedikitnya 800 ribu; dan meningkatkan kualitas serta meningkatkan kesejahteraan para guru. Dengan demikian, maka IPTEK dan peningkatan pendidikan akan seiring untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang berkualitas yang dapat menghadapi tantangan-tantangan zaman.


Sesi 3: Pertanyaan dari Moderator

Moderator: Menyadari adanya kesenjangan yang lebar dalam kualitas sumber daya manusia dan penyebarannya di berbagai daerah di Indonesia, serta daya saing SDM kita yang relatif masih rendah di pasar global, maka bagaimanakah kebijakan Bapak untuk mengatasi hal tersebut, sementara itu di sisi lain sebagian dari SDM kita yang unggul memilih untuk berkarya di luar negeri. Bagaimanakah upaya yang akan Bapak lakukan untuk mencegah hal tersebut?

Hatta: Dari 125 juta angkatan kerja kita, memang 46 persen masih tamatan SD. Oleh sebab itu, struktur tenaga kerja seperti ini tidak ideal, mengapa? Karena hanya 8 persen lulusan perguruan tinggi yang masuk ke pasar kerja. Tidak bisa tidak, kita harus meningkatkan APK perguruan tinggi sampai 2019 setidaknya 40 persen, sehingga aliran masuk adalah mereka yang skilled (terj: terampil/terlatih) dan memiliki knowledge. Persoalannya adalah bagaimana yang 46 persen yang sudah ada di pasar agar mereka productivity-nya meningkat? Jangka pendek, tidak ada yang lain kecuali kita meningkatkan balai-balai latihan dengan meminta kepada seluruh daerah-daerah otonomi untuk merevitalisasi dengan bantuan pemerintah pusat, merevitalisasi balai-balai latihan agar kesenjangan mereka dapat kita atasi dengan meningkatkan skill, karena ini sangat penting. Jangka panjang tidak ada yang lain adalah pendidikan, pendidikan ini menjadi kata kunci untuk menghilangkan/mengurangi kesenjangan. Yang kedua yang paling penting adalah menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan baru. Tidak boleh pertumbuhan hanya terjadi di pulau Jawa, oleh sebab itu kami mengembangkan, ketika saya Menko Perekonomian, master plan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia dengan mengembangkan sumber-sumber pertumbuhan baru berbasiskan pada kekayaan lokal. Dengan demikian maka, dibarengi dengan pusat-pusat keunggulan – the center of excellent – maka putera-putera daerah di tempat tersebut akan masuk ke dalam pusat pertumbuhan tersebut, bekerja sambil mereka juga menikmati pendidikan kejuruan yang disesuaikan dengan keunggulan daerah masing-masing. Terhadap adanya tenaga kerja kita yang di luar, ada dua pendekatan, yang pertama kita bisa melihat dari satu sisi yaitu strategi pembangunan kita yang membuat mereka tidak mempunyai kesempatan di sini. Contoh yang paling konkrit, apabila kita mengedepankan menjual bahan mentah saja, maka engineer (terj: insinyur) dan skilled tidak akan bisa bekerja. Dengan mengembangkan “value added industry” (terj: industri nulai tambah) maka mereka akan tertarik pulang ke Indonesia, strategi ini harus kita jalankan. Yang kedua adalah bisa saja kita dalam waktu yang sementara ini adalah pendekatan India, mereka mengembangkan karirnya di luar, akan tetapi membuka market – membuka pasar – mengakseskan ke Indonesia dan pada saat yang tepat mereka akan pulang karena pembangunan ekonomi kita terus meningkat.

Moderator: Kita menyadari bahwa Indonesia telah menjadi pasar produk-produk teknologi asing, padahal kita memiliki ratusan perguruan tinggi, lembaga riset, dan industri. Namun, belum terlihat sinergi antara lembaga tersebut yang dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Apa yang salah dengan kondisi tersebut menurut Bapak dan bagaimanakah Bapak dapat mensinergikan pendidikan tinggi, lembaga riset, dan industri agar permasalahan tersebut dapat diatasi.

Hatta: Pengembangan pusat inovasi dengan pendekatan “tripple helix” (konsep: kerjasama antara pemerintah, perguruan tinggi, dan industri -- untuk pemahaman konsep ini bisa kunjungi http://triplehelix.stanford.edu/3helix_concept) harus kita lakukan. Pertama, government, mengembangkan regulasi yang pro kepada peningkatan knowledge masuk ke difusi pada sektor-sektor yang kita prioritaskan. Yang kedua, pemerintah memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan yang mengeluarkan dananya untuk kepentingan-kepentingan riset yang bisa masuk ke dalam market. Yang ketiga, pemerintah mengeluarkan regulasi yang memungkinkan terjadinya percepatan program kewirausahaan, sehingga invention (terj: hasil penemuan, ciptaan) + entrepreneurship (terj: kewirausahaan) menjadi inovasi yang akan mengatasi persoalan-persoalan banjirnya masalah impor di tanah air kita. Khusus masalah banjirnya impor, maka pemerintah, menurut saya, harus dan Prabowo-Hatta betul-betul apabila diberikan mandat oleh rakyat, maka kita sungguh ingin mengedepankan seluruh sumber daya alam kita harus kita kelola ‘based on value added’ (terj: berbasis pada nilai tambah), tidak bisa lagi kita kembangkan pembangunan ekonomi yang tidak berbasis kepada knowledge. Oleh sebab itulah, maka pendekatan-pendekatan industri untuk mengurangi ketergantungan impor, terutama yang bahan baku dan bahan penolong yang 78 persen dari impor kita adalah bahan baku dan bahan penolong harus kita atasi dengan inovasi, dengan ‘tripple helix’, adanya kerjasama antara lembaga-lembaga riset/perguruan-perguruan tinggi, dunia-dunia usaha, dan pemerintah, inilah yang kita kembangkan dalam sistem inovasi nasional kita. Kita harus fokus & konsentrasi. Yang kedua, mau tidak mau, anggaran riset yang hanya 0,1 persen dari GDP kita harus kita tingkatkan. Kami berkomitmen untuk menambah setidaknya 10 triliun untuk bagaimana mempercepat difusi knowledge masuk ke market di sektor-sektor yang kita unggulkan: pangan, energi, transportasi, kesehatan, material untuk masa depan, dan pertahanan. Oleh sebab itu, dalam konteks ini, dana tersebut bisa juga diambil dari swasta di mana spending-nya (terj: pengeluarannya) bisa kita masukkan dalam ‘tax didactable’ (terj: pajak yang bisa dialokasikan untuk pendidikan) dan ini sudah ada di dalam undang-undang Sisnas IPTEK kita.


Sesi 4: Saling bertanya

Hatta (tanya): Untuk pencerahan saya, kita banyak mengenal revolusi, dan kita tahu revolusi biasanya suatu proses yang memang terkadang sulit dikendalikan dibandingkan reformasi misalkan. Nah, kira-kira bagaimana revolusi mental itu? Apakah memang ada suatu values (terj: nilai-nilai) di tanah air kita yang sudah tidak sesuai lagi sehingga harus ada revolusi, misalkan values Pancasila yang kita ketahui sebagai filosofi bangsa kita.

JK (jawab): Revolusi jangan disalah artikan seakan-akan sebagai suatu pemberontakan, tidak. Revolusi ialah bekerja cepat, perubahan cepat, karena kita mengetahui semua Bapak calon capres tiap hari mengatakan kebocoran, mental artinya. Kalau kita tidak cepat, bagaimana kita bisa atasi itu, bagaimana masalah-masalah nasional kita yang akibatnya karena mental manusia, bagaimana korupsi yang besar itu, bagaimana minuman keras, kalau ini kan asal-usulnya daripada perilaku, mental bangsa. Nah, kalau kita hanya evolusi butuh 20 tahun, sudah habis negeri ini baru selesai. Jadi kita harus bekerja keras, bekerja bersama-sama, ini tanggung jawab semuanya, sehingga pendidikan harus cepat merata, pendidikan bermutu, budi pekerti yang baik, itu tujuan-tujuan berbangsa kita. Ini bukan cepat, tapi lambat karena kita sudah 60 tahun merdeka, sistim kita masih belum sempurna untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Jadi masalahnya ialah waktu yang mendesak dan semua kita apabila bekerja bersama-sama, gotong royong, dalam hal pendidikan seperti saya katakan tadi, tidak semua hal berubah, tapi memasukkannya semua. Apabila kita bicara (pelajaran) Bahasa Indonesia, kita memberikan budi pekerti itu, semangat itu dalam heroisme, bukan hanya cerita, tapi heroismenya kita masukkan. Apabila kita berbicara matematika, bagaimana kejujuran kita masukkan ke situ, sehingga angka-angka itu jangan dimanipulasi pada waktu besar contohnya. Itu semua akan jadi bahagian, sehingga dalam waktu tidak terlalu lama hal itu dapat kita jelaskan dengan biaya yang besar, pendidikan kita besar, guru harus diperbaiki dengan cepat, tunjangannya harus diperbaiki dengan cepat. Itu semua yang kita sebut suatu proses yang cepat, cepat itu kan yang namanya revolusi.

JK (tanya): Selalu kita menyebut bonus demografi, apalagi Bapak dan pemerintah selalu berbicara akan terjadinya pertumbuhan karena bonus demografi. Tapi, apabila kita tidak hati-hati, bonus demografi dapat menjadi bencana demografi. Karena itu, apa langkah-langkah menurut Pak Hatta untuk melaksanakan bahwa bonus demografi itu betul-betul bonus, bukan musibah.

Hatta (jawab): Bonus demografi harus betul-betul kita manfaatkan karena hanya sekali dan tidak akan terulang kembali. Usia produktif ini harus kita jadikan tidak hanya usianya saja yang produktif, tapi produktivitasnya harus kita tingkatkan. Tidak ada jalan lain, dua saja Pak JK: pertama, pendidikan, dan yang cepat adalah bagaimana upaya-upaya kita, faktor yang kita sebut dengan total factor productivity masuk ke dalam elemen pertumbuhan ekonomi kita, dan itulah yang kita sebut dengan science and techlonogy. Oleh sebab itu maka bonus demografi ini haruslah kita isi masyarakat Indonesia dengan ilmu pengetahuan dan berkemampuan teknologi, sehingga bonus demografi tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan netto akibat dari bonus demografi tersebut. Kira-kira lebih dari 10 persen menurut perkiraan saya apabila betul kita serius menangani dengan baik. Yang kedua, bonus demografi ini haruslah betul-betul kita manfaatkan di mana kesenjangan usia yang muda dari usia 0-15 tahun yang non-produktif dan yang usia di atas 60 tahun yang tidak produktif, yang ini itu kita dekati dengan program-program ‘social protection’ (terj: perlindungan sosial), sedangkan untuk program-program (pada usia) yang produktif kita dorong untuk meningkatkan kinerja dan mengembangkan dua program, yaitu employment (terj: ketenagakerjaan) dan kewirausahaan. Dengan demikian maka usia produktif bisa kita tingkatkan productivity-nya.

Hatta (tanya): Barusan saya tadi mendengar Pak JK mengatakan soal sertifikasi guru, tapi seingat saya justru itu yang tidak disetujui atau ditolak sistem sertifikasi guru tersebut. Apa betul begitu Pak JK?

JK (jawab): Karena kita bicara visi misi, Pak Hatta boleh baca semua visi misi kita, apakah ada itu, jelas tidak ada. Yang ada ialah peningkatan seluruh kesejahteraan guru. Tentu kesejahteraan guru itu termasuk sertifikasi, karena sertifikasi sendiri ada dalam undang-undang. Tidak mungkin seorang presiden bisa dengan seenaknya membatalkan undang-undang, karena itu adalah tidak mungkin Jokowi-JK ingin mengatakan sertifikasi ditiadakan. Pertama tadi tujuan kita adalah meningkatkan guru, tunjangan guru, kesejahteraan guru. Kedua, ini undang-undang, tidak mungkin tanpa persetujuan semua partai, ini adalah tidak mungkin, dan justru Jokowi-JK tetap ingin ada sertifikasi dan dilaksanakan sebaik-baiknya.

JK (tanya): Kita masih mengirim, ini masalah sumber daya manusia, kita masih mengirim tenaga kerja Indonesia ke luar negeri dalam jumlah yang banyak. Banyak yang mengalami masalah-masalah di negara-negara Timur Tengah juga negara tetangga kita. Pertanyaannya, apakah kebijakan mengirim tenaga TKI itu masih dipertimbangkan, atau dilanjutkan, atau dihentikan. Bagaimana pendapat Pak Hatta.

Hatta (jawab): Yang pertama, kita harus mendorong pertumbuhan ekonomi kita, mengembangkan program-program kewirausahaan, mengembangkan usaha-usaha kecil, menengah, koperasi, agar kita dapat meningkatkan employment tenaga kerja di tanah air kita, itu yang pertama. Sehingga bangsa kita akan menjadi bangsa yang bermartabat, bangsa yang terhormat, tidak sekedar mengirim tenaga rumah tangga misalkan, dan sebagainya. Yang kedua, kita boleh mengirim tenaga ke luar negeri, tapi tenaga skilled, bukan labour atau cheap labour, tenaga murah, tenaga kasar, karena itu akan mengganggu harkat dan martabat bangsa kita. Oleh sebab itu, yang ke luar negeri harus memiliki skill tertentu, harus memiliki kemampuan untuk meningkatkan pendapatannya dan mampu bersaing dengan negara-negara lain. Sedangkan untuk tenaga kerja wanita, saya berpendapat sebaiknya kita moratorium karena terlalu banyak persoalan-persoalan yang menyangkut case, legal case (terj: kasus/perkara hukum/keabsahan) yang mengganggu harkat dan martabat bangsa kita.


Sesi 5: Saling Berdebat

JK (tanya): Pak Hatta, setiap kali debat, Pak Prabowo mengatakan tentang kebocoran luar biasa daripada keuangan negara, artinya korupsi daripada ini. Pertanyaannya, apakah Anda ketahui itu selama di pemerintahan bahwa ada kebocoran 3 triliun per hari? Kedua, apakah karena korupsi itu pasti diperbuat oleh penyelenggara negara, pegawai negeri, dan penyelenggara lainnya, anggota DPR, apakah sumber daya manusia penyelenggara negara sebegitu jeleknya, sehingga bisa terjadi itu?

Hatta (jawab): Saya perlu menjelaskan, Pak Prabowo Subianto, Capres kami, tidak mengatakan kebocoran itu bersumber 1000 triliun dari APBN, bagaimana mungkin, APBN kita 1800 triliun. Akan tetapi, yang dimaksud adalah ‘potential lost’ yang bisa terjadi di dalam perekonomian kita. Saya beri contoh Pak JK, yang dimaksud dengan ‘potential lost’, misalkan apabila kita hanya pandai menjual bahan mentah saja, maka kita tidak akan mendapatkan ‘value added’ (terj: nilai tambah) sama sekali. Atau kita tidak menjaga kekayaan alam kita yang dicuri, maka kita mengalami ‘potential lost’. Atau misalkan kita menjual gas ataupun batu bara yang harga market-nya terlalu murah dan kita tidak bisa melakukan renegosiasi karena itu, maka ini adalah ‘potential lost’. ‘Potential lost’ ini bisa terjadi karena kelemahan manajemen. Pemerintahan Pak SBY sudah melakukan perbaikan ke arah situ. Jadi, tidak betul kalau 1000 triliun itu kebocoran dari APBN.

JK (menanggapi): Kalau itu kebocoran tentu juga tercermin di KPK atau kejaksaan. Apakah itu, begitu besarnya itu termasuk karena mafia minyak, mafia daging, atau mafia bibit, atau mafia gula yang tersebar di KPK, ataupun penyelesaiannya bagaimana menurut Anda, apa usaha menyelesaikan itu apabila dikatakanlah Anda diberikan amanah.

Hatta (jawab): Pak JK, apapun yang namanya mafia, mafia hukum, mafia minyak, mafia apapun, adalah tindak kejahatan, serahkan pada penegak hukum, KPK akan bertindak untuk itu. Akan tetapi kalau yang dimaksud adalah mengapa kita mengimpor minyak, Pak JK kan bagian dari pemerintahan KIB 1 (Kabinet Indonesia Bersatu 1), tahu mengapa kita mengimpor minyak. Bahkah angka psikologis 1 juta barrel turun ke angka 900 ribu justru di jaman Pak JK. 12 persen declining (terj: berkurang), pemerintah sekarang, Pak SBY, menahan declining tersebut pada angka 3-5 persen. Memang menurun, secara natural itu terjadi. Oleh sebab itu, mengimpor minyak bukan sebuah kejahatan. Akan tetapi apabila ada tindak kejahatan, maka KPK, polisi, kejaksaan akan turun tangan melakukan tindakan hal seperti itu. Saya setuju bahwa kita harus memperbaiki tata kelola pemerintahan kita dengan baik, ‘good governance’, transparan, dan akuntabel.
Hatta (tanya): Bapak Muhammad Jusuf Kalla yang saya hormati, pertanyaan saya ringan saja Bapak. Orang sering menanyakan tentang daya saing bangsa kita. World Economic Forum mengeluarkan apa yang disebut dengan ‘the global competitiveness index’ (terj: indeks daya saing global), ada tiga indikator utama yang dikeluarkan yang mempengaruhi indeks daya saing kita. Manurut Pak JK, indeks manakah yang paling perlu kita atasi dan secepat mungkin bisa meningkatkan global competitiveness kita.

JK (jawab): Indeks yang paling mudah ialah indeks kemudahan berusaha, karena di Indonesia kita tahu semua kita pernah kemudahan berusaha itu di atas 100, sekarang kita turunkan waktu itu menjadi 60’an untuk mendekati Malaysia yang kira-kira 30’an. Jadi apabila kita ingin perbaikan dalam rangka indeks itu, maka kemudahan berusaha Indonesia sama dengan ijin-ijin, birokrasi perijinan, ataupun bagaimana mengatasi birokrasi di daerah, bagaimana mengatasi ijin-ijin di kota, itulah yang paling berat untuk indeks pengusaha ekonomi itu, yang menjadi bahagian dari kesulitan-kesulitan di Indonesia. Yang kedua, juga masalah perburuhan yang selalu menjadi masalah-masalah di Indonesia, dan itu menjadi bahagian daripada upaya kita tentu harus memperbaikinya. Jadi lebih masalahnya adalah masalah birokrasi dalam negeri sehingga harus diperbaiki.

Hatta (menanggapi): Saya kira apa yang disampaikan itu tidak sepenuhnya mengena Pak JK, karena ‘easy in bussiness’ itu perlu. Tapi menurut saya di dalam ‘the global competitiveness’ yang paling penting adalah inovasi bangsa. Technological readiness – kesiapan kita soal teknologi – dan menurut pandangan saya yang paling fundamental adalah menyelesaikan infrastruktur dasar. Infrastruktur dasar inilah yang paling besar pengaruhnya kepada ‘global competitiveness index’ itu.

JK (jawab): Tadi memang karena meminta pendapat saya. Dan dalam pembahasan-pembahasan, juga di pemerintahan, waktu saya masih di pemerintahan, itulah yang selalu menjadi bahagian upaya yang harus diselesakan. Bahwa infrastruktur penting, tentu pertanyaannya juga apa yang terjadi dewasa ini, karena pada waktu kita masih di pemerintahan, kita bikin listrik, kita bikin apa, sekarang anda tidak bikin lagi masalahnya, dan itu masalahnya juga kenapa tidak terjadi. Jadi bahwa infrastruktur itu penting, tapi infrastruktur itu tidak hanya diucapkan, tapi dilaksanakan Pak Hatta. Jadi kalau kita bicara ‘akan’, semua di sini bicara ‘akan’, tapi bagaimana melaksanakannya, itu yang penting. Jangan mati lampu lah listrik kita, nanti susah kita pidato, itu yang terjadi di Jakarta ini. Jadi, saya setuju bahwa infrastruktur penting, tapi tidak untuk dipidatokan, tetapi untuk dilaksanakan.

JK (tanya): Ini juga ringan saja. Pak Hatta, Anda kan pernah menteri Ristek. Pertanyaannya sederhana, Ristek itu inovasi, pengembangan teknologi dalam pencapaian sesuatu, pada saat Anda jadi menteri, inovasi apa yang begitu menggembirakan Anda, yang mengenang sampai sekarang, yang bermanfaat untuk bangsa ini sehingga perlu untuk kita share untuk memberikan selamat atas inovasi itu.

Hatta (jawab): Sebelum inovasi, saya meletakkan dulu dasar-dasar kita untuk mengembangkan sistem, penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan & teknologi. Oleh sebab itu tahun 2002 saya tuntaskan undang-undang sistem nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan & teknologi. Inilah sebagai dasar legal kita untuk melakukan spending, pemerintah ke swasta, dan juga dunia usaha bisa mengeluarkan dananya, dan pemerintah bisa mengeluarkan insentif untuk itu. Dari undang-undang ini, maka environment menjadi kondusif, mengembangkan tripple helix dan sebagainya. Kalau Pak JK (bertanya) inovasi apa, saya ingin sampaikan, yang pertama di bidang pangan, begitu banyak, Pak JK, temuan-temuan genetic modified (terj: rekayasa genetika) di bidang pangan, padi terutama, yang diaplikasikan oleh LIPI dan BPPT yang bermanfaat, dan juga oleh perguruan tinggi IPB, karena kami memfokuskan pada waktu saya IPB fokus kepada pangan, ITB kepada material, dan transport di Timur. Itu bermanfaat sampai sekarang dan tetap dijalankan. Yang kedua di bidang energi, Pak JK masih ingat saya menggagas “tidak boleh lagi membangun pembangkit di bawah 15 megawatt tanpa menggunakan kolaborasi nasional kita” dan itu kita bangun 2x7 megawatt di Kalimantan Timur dan sampai sekarang berjalan. Saya sayangkan kalau kemudian kita membangun 10000 megawatt, yang 100 persen China dan tidak sama sekali membangun kemampuan dalam negeri kita. Nah, menurut saya, saya bangga dengan hal itu Pak JK.

JK (menanggapi): Jadi bangga bahwa hasilnya undang-undang tadi, bukan inovasi teknologi yang pokok. Tadi benar kalau inovasi bibit, tapi kita masih impor beras makin banyak malahan. Nanti pada jaman 2008/2009 kita swasembada pangan, minta maaf, waktu saya di pemerintahan. Tapi, setelah itu impor lagi, jadi bagaimana terjad bibit yang diciptakan itu ternyata impor terus. Ini penting untuk diketahui bahwa memang kita harus konsekuen pada pelaksanaan daripada hal-hal tersebut untuk mencapai suatu swasembada, kontinyuitasnya, dan sebagainya. Tentang listrik, yang diimpor China di atas 100 megawatt, Anda tahu, semua dibawah 50 ke bawah itu diberikan kepada pengusaha nasional untuk mengembangkan teknologi nasional, itu aturannya pada jaman 10000 itu. Jadi bukan justru kita bikin aturannya, yang dibawah 50 harus nasional, tetap konsekuen pada itu bahwa ada yang tidak selesai saya kira, itu masalahnya.

Hatta (jawab): Pak JK, memang saya bangga karena itu inovasi, karena inovasi adalah invention (terj: hasil temuan/ciptaan), temuan, hasil riset yang terdifusi di dalam sektor, dan itu menghasilkan bibit unggul yang sekarang masuk ke dalam market, itulah inovasi. Jadi inovasi yang sangat mendasar menyangkut pangan nasional kita. Nah, bahwa kita masih mengimpor, Pak JK kan sudah paham juga kita sebetulnya sudah berswasembada pangan, beras. Akan tetapi selalu saja ada slot (terj: celah) untuk mengimpor, untuk kebutuhan-kebutuhan masyarakat asing yang memerlukan beras-beras tertentu. Akan tetapi kebutuhan mendasar kita, itu sudah swasembada pangan, kecuali apabila terjadi iklim ekstrem, di mana negara kita sering kali terjadi iklim ekstrem yang mengganggu produksi kita, maka kita melakukan impor, hanya bersifat insidentil. Nah, oleh sebab itu menurut pandangan saya, agenda-agenda riset ke depan adalah membangun, mengembangkan riset-riset yang sungguh berkaitan dengan sustainability (terj: keberlanjutan) pangan dan energi kita.

Hatta (tanya): Saya membaca di dalam visi-misi Bapak JK dan Pak Jokowi, itu memang tidak lagi memperhitungkan atau menolak ujian nasional, ini suatu perkembangan buat saya yang cukup menarik, karena saya tahu waktu kita sama-sama di KIB, Bapak promotor utama untuk ujian nasional. Apakah ada suatu perubahan di Pak JK, kalau ada perubahan kira-kira hal apa yang salah dalam sistem ujian nasional kita.

JK (jawab): Pak Hatta, kalau Anda baca betul tentang visi-misi kami bunyinya adalah “akan dievaluasi sistem pendidikan seperti kurikulum dan juga akan dievaluasi ujian nasional”. Evaluasi itu boleh diperbaiki sistemnya, boleh bobotnya, boleh apapun. Tapi evaluasi tidak menghilangkannya dalam segera. Jadi evaluasi, contohnya saja, dulu soal hanya satu, kemudian karena orang suka nyontek (maka) dijadikan dua, sekarang soalnya dua puluh (dalam) satu kelas. Dulu bobotnya 100 persen ujian nasional untuk kelulusan, sekarang cuma 60 persen, 40 persen ke daerah, jadi didaerahkan. Tadi pertanyaan Ibu (moderator) bagaimana kesenjangan pendidikan di daerah-daerah luar biasa. Tidak mungkin kita perbaiki kesenjangan itu kalau tidak pemetaan, dan pemetaan tidak mungkin dapat diketahui kalau tidak ujian nasional, karena ujian nasional itu merupakan sejarah lama, bukan (hanya) sekarang, tahun 50’an sudah ujian nasional, tahun 60’an ada, tahun 80’an ada. Di negara-negara maju semua ujian nasional. Jadi kesimpulannya, kurikulum, ujian nasional, semuanya secara bertahap selalu dievaluasi sesuai dengan waktunya, untuk memenuhi tadi bahwa ada kesenjangan nasional sehingga kesenjangan itu diatasi dengan pengetahuan dan pemetaan. Tanpa itu tidak mungkin kita atasi kesenjangan pendidikan nasional.

Hatta (menanggapi): Tapi saya belum puas karena (pertanyaannya) apa yang dievaluasi? Dan kalau membaca itu runtun memang yang ditolak itu adalah penyeragaman, penyamarataan. Sistem ujian nasional kita itu tidak sekedar indikator kelulusan, tapi juga indikator kompetensi daerah, sehingga kita bisa mengukur berapa jauh daerah memiliki kualifikasi, memiliki kualitas. Nah, tentu para pakar-pakar pendidikan kita sudah memperhitungkan, menggabungkan antara standar nasional dan memperhitungkan standar yang berlaku di daerah. Kalau Pak JK ingin melakukan evaluasi, pada sisi apanya? Karena menurut pandangan kami 3 kompetensi akan dihasilkan apabila sistem ini konsisten kita jalankan, yang pertama tentu kompetensi knowledge, yang kedua itu kompetensi skill, dan yang ketiga tentu adalah kompetensi attitude (terj: sikap/pendirian). Dan tiga ini tentu attitude ya attitude Republik Indonesia. Jangan nanti kita justru tidak memiliki suatu identity, karena sistem kita yang tidak menganut kepada satu, katakanlah perpaduan antara nasional dan daerah tersebut. Pertanyaan saya adalah bagaimana yang dievaluasi, pada sisi apanya?

JK (jawab): Saya ingin lebih dahulu memberikan pengalaman, kita sama-sama mentri waktu itu, 2003. Bagaimana mutu pendidikan pada waktu itu, kalau kita uji nasional dengan angka 3,5, 60 persen tidak lulus (maksudnya pada angka 5), maka diturunkan waktu itu diluluskan dengan angka 3,5. Bayangkan nilai pendidikan nasional lulus dengan 3,5. Sekarang naik 5,5 angka kelulusan, alhamdulilah yang tidak lulus di bawah 1 persen. Jadi luar biasa kemajuannya. Jadi evaluasi itu terus-menerus dibuat, sehingga akan terjadi suatu perubahan-perubahan yang baik daripada sistem itu. Evaluasi bisa sistemnya, bisa kontennya, bisa pelaksanaannya, semua tergantung permasalahannya. Seperti dulu, saya katakan lagi, dulu 100 persen penilaian oleh nasional, sekarang sisa 60 persen. Itu juga evaluasi. Jadi, banyak hal yang bisa dievaluasi secara terus-menerus untuk mencapai hal yang lebih baik.

JK (tanya): Pak Hatta, kita sudah bicara banyak tentang SDM, sekarang kita bicara tentang kelembagaan. Kita tahu dari tadi lembaga riset nasional ada LIPI, ada BPPT, dan banyak sekali. Bagaimana cara menyatukan agar kita efisien dalam hal riset dan hasilnya bisa terukur, sehingga bukan hanya biayanya memang kecil, tapi hasilnya harus terukur berapapun biaya dari hal tersebut. Tentu apalagi kita berusaha meningkatkan biaya, sehingga biaya dan hasil harus terukur untuk mencapai hasil itu. Bagaimana menurut Anda yang kita capai.

Hatta (jawab): Kita punya 7 lembaga di bawah Kementrian Riset dan Teknologi yang semuanya memiliki kompetensi masing-masing. Misalkan LIPI –lembaga ilmu pengetahuan Indonesia– banyak yang melakukan riset-riset dasar, termasuk riset sosial. BPPT melakukan bukan lembaga riset, BPPT itu badan pengkajian dan penerapan teknologi. Jadi semacam ‘clearing house’ teknologi sebetulnya, idenya ke sana. Dan kalau dulu namanya Bakosurtanal yang sekarang menjadi lembaga spasial itu punya kompetensi tersendiri pula, demikian juga Bappeten, mengawasi nuklir, BATAN adalah melakukan riset-riset nuklir yang sangat maju di Indonesia terutama di dalam ilmu-ilmu kedokteran. Pertanyaannya yang pertama, kita tidak perlu, misalkan memaksakan tujuh lembaga tersebut harus sama melakukan riset, mereka memiliki kompetensi. Akan tetapi yang paling penting adalah bagaimana output dari lembaga-lembaga tersebut dapat terdifusi di dalam sektor-sektor yang sungguh memberikan manfaat, bisa kita katakan sebagai inovasi dan sebagainya. Yang paling penting yang kedua adalah jangan ada redundant  (terj: berlebih-lebihan) dalam penelitian karena anggaran terbatas, tapi juga saya menganjurkan kepada lembaga-lembaga tersebut, apabila kami terpilih, untuk berkolaborasi dengan dunia swasta, perguruan tinggi, agar terjadi apa yang disebut sebagai tripple helix untuk menghasilkan inovasi bagi bangsa kita.

JK (menanggapi): Yang saya maksud tadi akuntabilitas daripada lembaga riset itu harus juga terjamin, sehingga apabila kita ingin tingkatkan biaya, kita tahu juga apa yang dicapai dan yang ingin dicapai. Bahwa mereka berbeda-beda segmen (itu) otomatis pasti, tapi tetap harus terkoordinasi karena mentri riset mungkin bukan BPPT yang mengkoordinasinya tapi mentri risetnya yang harus mengkoordinasi daripada hasil-hasilnya, sehingga hasil-hasilnya jelas untuk kebaikan semua. Karena tadi hampir semuanya kita merasa bahwa riset kita belum mampu untuk mengatasi dinamika kemajuan teknologi, sehingga kita kemasukan teknologi yang paling banyak dari luar, itu yang saya maksudkan. Bahwa bagaimanapun koordinasi dan ukuran-ukuran keberhasilan itu tetap harus kita punyai.

Hatta (jawab): Tentu saja Bapak JK yang terhormat, koordinasi harus dilakukan. Oleh sebab itu 7 lembaga itu berada langsung di bawah koordinasi Kementrian Riset dan Teknologi. Nah, kita setuju bahwa harus ada penajaman pada riset-riset yang bisa cepat terdifusi di dalam sektor-sektor. Oleh sebab itu, koordinasi yang menyangkut anggaran, koordinasi yang menyangkut riset-riset yang betul-betul diperlukan oleh bangsa ini. Saya menyebutkan 6 yang terpenting sekali: pangan, energi, transportasi, pertahanan, kedokteran & kesehatan, dan menyangkut kebumian; termasuk juga di dalamnya adalah maritim kita. Nah, ini memang penajaman pada sisi itu harus kita lakukan, agar semakin cepat aliran dari knowledge menuju ke inovasi untuk membangun perekonomian bangsa kita, saya setuju. Untuk itu, harus ada koordinasi yang baik, hal seperti itu terutama di dalam pendanaan dan penajaman-penajaman.

Hatta (tanya): Apa kira-kira pandangan Pak JK terhadap sistem pendidikan kita sekarang ini dan dikaitkan dengan pandangan Pak JK pada waktu dulu yang kurang sependapat pendidikan gratis, sekarang ini pendidikan gratis dikembangkan sampai 12 tahun. Seperti misalkan kami menggratiskan pendidikan mulai usia dini sampai ke SMA. Nah, kira-kira apakah dalam konteks ini Pak JK melihat ada yang disebut dengan keadilan inklusivisme di situ dan pendidikan yang bersifat universal.

JK (jawab): Pendidikan gratis adalah keniscayaan, sudah terjadi sesuai aturan, otomatis kita harus laksanakan. Bahwa kita boleh berbeda pandangan sebelumnya, begitu kita sepakat, maka kita sepakat, itu yang saya ingin sampaikan. Kenapa harus ada ‘cross subsidy’ (subsidi silang), karena apabila tidak ada ‘cross subsidy’ di antara mampu & tidak mampu, maka akan terjadi dua kelas pendidikan. Pendidikan gratis penting, namun bagi yang mampu ternyata membayar puluhan kali lipat daripada seharusnya, karena dia inklusif di sekolah-sekolah yang katakanlah sekolah internasional. Maka, merekapun harus membayar sesuatu untuk ‘cross subsidy’ kepada yang tidak mampu dalam bentuk pajak yang baik, dalam bentuk suatu kerjasama supaya jangan terjadi dua kelas pendidikan. Pendidikan yang gratis dan pendidikan yang mahal, yang terjadi harus ada kerjasama keduanya. Walaupun tentu kita setuju dan kita harus menjalankan sekolah gratis itu, yang kita kenal dengan Indonesia pintar dan sebagainya, karena sangat penting untuk rakyat. Tapi realitanya adalah masyarakat yang mampu, mungkin juga cucunya Pak Hatta sekolah di mana? Sekolah gratis atau sekolah mahal cucunya Pak Hatta? (Hatta: cucu belum sekolah) Anak sekolah mahal? (Hatta: [senyum & mengangguk]). Ini untuk diketahui bahwa ada hal yang harus kita perbaiki sistem ini, sehingga tetap ada ‘cross subsidy’ sehingga tidak menimbulkan dua macam sekolah yang berlebihan sehingga dapat kita menjamin arah pendidikan nasional yang benar, seperti itu.

Hatta (menanggapi): Saya masih belum pas betul dengan jawaban tadi, karena menurut pandangan kami pendidikan yang berkeadilan dan inklusif serta berkesinambungan itu adalah hak mendasar dari warga negara. Sebagaimana disebutkan di dalam pasal 31 ayat 1 “tiap-tiap warga negara berhak atas pendidikan”, ayat 2-nya mengatakan “setiap warga negara wajib memenuhi pendidikan dasar, pemerintah wajib membiayai”. Inilah yang disebut dengan inklusif & berkeadilan, tidak membedakan. Sedangkan apabila ada kaya dan miskin, tidak tercermin di dalam sekolah gratis, yang kaya akan membayar pajak lebih besar daripada yang miskin, tentu ia memenuhi kewajiban-kewajiban konstitusinya dalam kapasitasnya sebagai orang kaya, tapi tidak pada pendidikan itu. Oleh sebab itu, kita bersyukur bahwa konstitusi kita sudah mengatur tentang pendidikan yang dibiayai oleh negara. Kalau perlu kita terus naik sampai ke tingkat perguruan tinggi.

JK (jawab): Saya ingin tegaskan bahwa saya, kita Jokowi-JK sangat setuju dan mendorong sekolah gratis sejak lama. Yang saya arahkan, ada kerjasama antara sekolah yang mempunyai fasilitas lengkap karena itu membayar, sehingga sekolah-sekolah sekitarnya ada kerjasama, dapat memakai fasilitas sekolah-sekolah itu untuk justru pemerataan lingkungannya. Jadi sekolah-sekolah yang bayar mahal, satu murid bisa 2 juta-3 juta perhari, fasilitasnya lengkap, ada lapangan bolanya dan sebagainya, mungkin dibutuhkan kerjasama-kerjasama itu sekolah sekitarnya, sehingga dapat orang yang membayar itu memberikan share kepada orang yang sekolah gratis, yang tidak mempunyai fasilitas yang cukup. Itu yang saya maksud bahwa harus ada ‘cross subsidy’ antara sekolah yang mahal dan sekolah yang gratis, sehingga terjamin suatu korelasi, tidak menimbulkan gap-gap di antara masyarakat sekitarnya.


Sesi 6: Closing Statement

Hatta: Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barokatuh. Rakyat Indonesia yang saya cintai di manapun berada. Para ibu-ibu, para pedagang asongan, para nelayan, para buruh, para dokter, para perawat, para teknisi, semua yang ada di seluruh tanah air. Mari sejenak kita bayangkan, mimpi kita adalah agar masa depan anak-anak kita lebih baik, lebih cerah, dan ibu-ibu tidak mengkhawatirkan masa depan anak-anaknya. Oleh sebab itu, kita harus bekerja keras membangun bangsa ini, sungguh menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Mari sejenak kita bayangkan, seandainya sumber daya alam kita depleted (terj: habis), habis karena non-renewable (terj: tidak dapat diperbaharui), pasti habis. Pertanyaan kritis kita, apakah negara kita akan collapse (terj: runtuh), apakah kita akan defeated (terj: kalah/takluk), apakah kita akan tersisih, jawabannya TIDAK! Karena Prabowo-Hatta mengedepankan konsep pembangunan, meletakkan sumber daya manusia dan kemampuan ilmu pengetahuan & teknologi sebagai pilar utama membangun bangsa yang kita cintai ini. Energi kita bisa habis, tapi kecerdasan anak-anak ibu-ibu yang kita didik akan melahirkan generasi-generasi tangguh, yang akan menjawab tantangan pada zamannya. Insya Allah Indonesia akan menjadi negara yang maju, negara yang sejahtera, negara yang disegani, MACAN DI ASIA, dan disegani di dunia. Terima kasih kepada istri saya, kepada keluarga saya, dan kepada sahabat saya, terima kasih semuanya. Wassalamu’alaikum wa rahmatullah wa barokatuh.
 
0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Langganan: Postingan (Atom)

Sponsored

  • banners
  • banners
  • banners
  • banners

Tulisanku Yang Lain...

  • ▼  2014 (1)
    • ▼  Juli (1)
      • Transkrip Debat Cawapres 29 Juni 2014 (Khusus Hatt...
  • ►  2011 (9)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (7)
  • ►  2010 (8)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (7)

Followers

Kalo OL Inget Waktu!! :)

SMS GRATIS !! Klik Close Ads Dulu... :)

Labels

  • MUSIK (3)
  • Sevenfoldism (1)
  • Yuk Tingkatkan Skill Gitar.... (4)

Counter

Feedjit Live Traffic

 

© 2010 My Web Blog
designed by MN Website Templates | Bloggerized by Yudha Arya Pradana | go to my facebook